Follower

Rabu, 18 April 2012

The First Time - UN

There is always the first time for everything ... 

Finally, inilah  posting pertama di blog. Walau bingung mau nulis apa ... Tergoda juga untuk mulai nulis. I will try to write everything that come into my mind, that bother me .. amaze me and whatever it is...
Sekarang orang tua lagi heboh dengan anaknya yang sedang dan akan UN. Kenapa sih heboh?  Semua kan dulu pernah sekolah.  Di sekolah favorit ataupun sekolah nyaris tak terdengar, tetap saja sekolah dan ngejalanin yang namanya ujian. So, take it easy mom.
Why it should be mom? Ya, Ayah biasanya mendelegasikan tugas khawatir ini kepada istrinya. Tugas yang jadi prioritas dan bukti keberhasilan Bunda. Sepertinya enggak fair. Apa iya, tugas membesarkan anak, mulai bayi sampai bisa alan dan berlari, tidak masuk hitungan? Apa hanya keberhasilan lulus ujian yang dianggap keberhasilan? Enggak masuk akal! But, this is life. Welcome to the real world.
Pengalamanku dulu. Oh ya, anakku 2 orang. Yang pertama, perempuan,  kelas 1 SMA. Yang bungsu, laki-laki, kelas 3 SD. Banyak yang heran jaraknya jauh. Niat awal sengaja dijarangkan.  Biar bisa kasih perhatian lebih. Sampai enggak terasa kakak sudah masuk TK. Kasihan sendirian. Lagian umur juga jalan terus. Berusahalah sampai Allah berikan berkah anak ke-2. Alhamdulillah laki-laki. Lengkaplah kebahagiaan ini. Sepasang sudah cukup. Eits, bisa jadi iklan KB : Keluarga bahagia, lebih baik dua anak (Sekarang slogannya bukan dua anak cukup lho. Sudah pada tahu belum?) Tuh kan, prolognya kepanjangan. Kembali ke pengalaman.
Cerita ku mulai dari awal. Pengalaman anakku ujian SD dan SMP, memang menegangkan. Aku dan suamiku bukan orang yang percaya dengan bimbingan belajar dan teman-temannya. Alhamdulillah, anak-anakku, bisa dibilang, termasuk mudah menerima pelajaran. Dari TK sampai SMP selalu masuk ranking 10 Besar. Dengan kemampuan yang dimilikinya, kami sengaja tidak mengarahkannya ikut bimbel. Kami tekankan ia harus mau dan berani tanya guru bila ada pelajaran yang tidak dimengerti.
Memang tidak mudah. Anakku pun sering mengeluhkan gurunya. Berbagai tipe guru, cara mengajar beda, guru tidak kooperatif, tidak mendukung dan tidak semuanya. Mau tak mau semua harus dijelaskan agar ia tidak menyerah. Karena your life is in your hand. Jangan pernah menyalahkan guru kalau enggak ngerti pelajarannya. Kalau kamu enggak suka gurunya, enggak ada pengaruhnya buat sang guru. Akibatnya untuk dirimu sendiri. Kamu akan semakin tidak bergairah, malas menghadapi sang guru. Parahnya lagi, kamu yang akan dapat nilai kurang karena mengerjakan tugas asal saja. Ya, selama keberhasilan sekolah dilihat dari perolehan nilai, jebakan ini akan terus menghantui. Kenapa kubilang jebakan? Karena mau enggak mau kita terpaku hanya pada nilai yang diperoleh. Bukan seberapa dalam anak memahami apa yang diajarkan di sekolah.
Jadi, dengarkan curhat anak tentang gurunya. Kalau bisa membantu, ceritakan juga bagaimana cara kita dulu menghadapi guru yang seperti itu. Kalau anak kita sudah besar, jangan mengarang! Mereka akan bisa ‘merasa’ kalau kita mengarang. Ber’empati’ lebih baik, daripada mengarang cerita yang nantinya dapat menjebak kita sendiri. Membuat anak tak percaya dengan kita. Kenal dengan ‘empati’ kan? Ya, merasakan apa yang dirasakan orang dengan cara melihat dari kaca mata yang bersangkutan. Sebenarnya enggak susah, asal kita mau mendengar. DENGARKAN. Mau bersabar mendengar kisah yang kadang menurut kita enggak penting. Mudah diucapkan tapi perlu waktu untuk membiasakan diri.
Setelah selesai curhatnya, biarkan ia cooling down. Cobalah masuk dengan nada obyektif. Jangan menyalahkan! Nada menyalahkan membuatnya malas bercerita lagi. Buatlah ia tahu kita mengerti dan memahami perasaannya. Kita pernah muda. Mungkin kita pernah alami hal yang sama.
Kalau boleh disimpulkan, anak perlu pendampingan orang tua. Akan semakin mudah bila sudah kita biasakan dari kecil. Kalau dulu belum dilakukan, tak ada kata terlambat untuk memulainya sekarang. Tanamkan ikhtiar dan usahanya kini akan berguna tidak hanya sekarang tapi sampai ia dewasa kelak. Dan yang pasti, kita sebagai orang tua, jangan pernah menyerah. Beri dukungan pada anak sesuai kebutuhan. Jangan jadikan anak seperti yang kita inginkan. Biarkan anak menjadi pribadi yang mandiri. Biarkan ia belajar mengatasi masalahnya sendiri. Dampingi anak agar kita tahu permasalahan anak sebelum ia tenggelam.  
Sudah panjang ceritanya. Saya akan lanjutkan lagi dengan posting menarik lainnya.

1 komentar: