Follower

Minggu, 27 Mei 2012

KAKAKKU SAYANG

         
“Assalamu alaikum...” kuucap salam pada Ibu, sepulang sekolah.
“Wa’alaikum salam. Gimana tadi di sekolah, Nak?”
“Nyebelin, Bu. Tadi Pak Guru ngasih ulangan mendadak. Untung aku bisa. Biar enggak 100 tapi enggak remed.”
“Alhamdulillah. Makanya kalau disuruh belajar,  jangan malas. Kalau ada ulangan dadakan gini kamu kan sudah siap. Biar bisa dapat 100. Katanya mau jadi juara.”
“Iya, Bu.  Kemarin kan aku capek, abis lomba lari. Nanti  selesai makan malam aku belajar lagi, deh. Sekalian buat PR.”
“Buat PR jangan malam-malam. Nanti jam limaan kamu buat PR. Jadi sebelum Maghrib sudah selesai. Setelah shalat maghrib, makan, terus belajar lagi buat persiapan besok.”
“Kapan aku nonton TV-nya, Bu? Ada film bagus jam tujuh nanti.” Aku protes.
“Nonton TV ya selesainya belajar. Makanya sore buat PR jadi setelah maghrib kamu tinggal sebentar belajarnya.”
“Kok, kak Dila enggak disuruh belajar? Aku enggak belajar, dimarahin.”
“Dika, kamu masih kelas 3 SD. Pelajaranmu belum sebanyak kakak. Kak Dila juga belajar, tapi malam setelah Isya. Kakak sudah SMA, pulang sekolahnya sore. Jadi ngulang pelajarannya malam. Kakakmu bisa belajar sampai jam sepuluh – sebelas malam. Kamu mau gitu? Nanti kamu malah tidur di sekolah.”   
“Kok bisa belajar malam-malam? Memang Kak Dila enggak ngantuk?”
“Ya pasti ngantuk, tapi ditahan. Kalau diikutin ngantuknya, enggak kan belajar. Makanya sepulang sekolah kak Dila istirahat atau tidur dulu sebentar. Iya, kan? Kamu aja yang kalau disuruh tidur marah-marah. Tidur siang penting, supaya badan enggak capek.” Ibu menggandengku. “Ayo, kita makan. Habis itu, shalat terus tidur.”
“Aku mau nonton TV, Bu. Sebentar aja. Jam tiga juga udah selesai.”
“Ya, sudah. Cepat habiskan makanmu, terus shalat. Nontonnya enggak usah lama-lama.”
“Iya, Bu.” Ku cepat makan. Kuatir kalau lama, Ibu enggak ijinkan nonton TV.
Selesai makan, shalat, kulangsung nonton TV. Lagi seru-serunya nonton, tiba-tiba  tulalit...tulalit.... jamku bunyi. Aku tadi pasang alarm tiga. Ibu suka masuk ke kamar melihat ku sudah tidur atau belum. Dan ibu pasti marah kalau aku tidak tidur siang. Terpaksa kumatikan TV dan masuk ke kamar.
Aku disuruh tidur siang, kakak aja masih di sekolah. Ibu enggak adil, lebih sayang kakak. Kakak dibelliin hape, aku enggak. Kakak boleh pergi dengan teman-temannya, aku harus sama ibu. Kakak dikasih uang jajan, aku harus bawa bekal. Akhirnya ku tertidur. Memang sebenarnya aku capek tapi acara TV sayang untuk dibiarkan, aku lebih milih nonton timbang tidur.
“Dika, bangun, sudah sore.” Ibu membangunkanku.
“Iya, Bu,” jawabku sambil mengedip-ngedipkan mata.
“Tidur siang sebentar aja cukup. Kalau kelamaan nanti malam kamu susah tidurnya. Sana mandi, shalat terus buat PR.”
“Iya, Bu.” Panjang amat perintahnya, aku kan baru bangun.
“Dika, kok diam aja? Ayo, sana mandi.”
“Iya, Bu.”
Aaah, segarnya habis mandi.
“Ibu...,” panggilku. Kok enggak ada jawaban. “Ibu...” teriakku. Enggak ada juga.
“Dik, sudah selesai buat PR? Ibu pergi sebentar, ke rumah teman ibu yang sakit,” kata Dila.
“Kak Dila, baru pulang? Kok aku enggak dengar masuknya.”
“Iya. Tadi kakak pulang, Ibu langsung pergi. Biar enggak kemalaman pulangnya. PRmu sudah selesai?”
“Belum, ini aku mau tanya. Ada yang enggak ngerti.”
“Ya, udah. Sini kakak bantu.”
Kami berdua ke meja belajarku. Kak Dila mengajari PR yang susah. Ternyata, kak Dila pintar, aku jadi ngerti cara ngerjain soalnya. 
“Terima kasih ya, Kak. Kakak pintar. Kalau gini kan aku bisa dapat 100 terus.”
“Hehe.... muji-muji gini, ujungnya apa, nih?”
“Kakak, aku ngomong benar, malah curiga. Enggak, enggak minta apa-apa, kok.”
“Ya, udah. Kita nonton TV aja sambil tunggu Ibu pulang. Kakak punya gorengan, kamu mau enggak? Tadi kakak kelaparan di jalan.”
“Mau dong, Kak. Ada risolnya, kan?”
“Ada, kakak beli risol semua biar enggak rebutan.”
Kami nonton sambil makan risol. Tengah nonton, kulihat mata kakak terpejam. Kakak terpaksa tidur di ruang TV karena harus menemaniku selama ibu pergi. Kakakku baik. Dia mau menemani dan membelikan aku jajan. Kakak juga mau mengajariku. Aku enggak boleh iri. Dia baik dan aku juga harus baik padanya. Kami saudara, harus saling menyayangi.  Kak, aku sayang kakak.

Minggu, 20 Mei 2012

Silaturahim


Hari ini judulnya Hari Silaturahmi, mengunjungi Saudara. Atau ada juga yang menyebutnya dengan silaturahim. Sebenarnya apa sih arti atau makna atau manfaat dari silaturahmi ? Kita sekarang, biasanya bersilaturahmi hanya sebatas pada hari Lebaran ataupun bila ada keperluan tertentu. Atau kasarnya, kita akan berhubungan atau menghubungi seseorang hanya bila kita butuh.  Setuju enggak dengan pernyataan itu? Saya yakin lebih banyak yang setuju dibandingkan yang kontra.  Tentu saja dengan banyak alasan berbeda.  Lokasi atau letak rumah yang berjauhan. Perasaan harusnya dikunjungi bukan yang mengunjungi. Hujan. Sibuk, banyak kerjaan. Tidak sempat. Tidak ada waktu. Dan seribu satu macam alasan yang sebenarnya tidak perlu ada kalau memang kita sudah niat untuk menjalin silaturahmi.
Balik lagi, apa sebenarnya silaturhami? Sebagai orang yang bukan ahli agama, saya mengartikan silaturahmi sebagai membina hubungan dengan sesama, hablum minannas. Seperti kalau kita sedang jalan kaki dan melihat tetangga sedang berada di depan rumah, kita sempatkan bina silaturahmi dengan mengajaknya mengobrol sejenak. Sebentar saja, karena kalau lama-lama bisa-bisa mengganggu dan menyebabkannya jengkel. Ya, tho, so, sebentar saja. Mungkin bisa dibilang basi-basi, tapi please jangan garing. Kita bisa ngerasa sendiri kalau obrolan kita garing atau enggak. Jadi kalau garing, lebih baik berikan sedikit senyum dan anggukan kepala sebagai sapaan bersahabat. Kalau tetangga lawan jenis, lebih baik batasi sebatas anggukan kepala daripada muncul fitnah kita menggoda. Setuju?
Nah, kalau silaturahmi keluarga, ini harus lebih sering. Tidak sebatas hanya pada waktu mudik lebaran saja. Kalau lebaran kita bisa berkumpul semua sampai dengan tiga turunan, nenek/kakek, ayah/ibu, anak, cucu, bahkan cicit.  Selesai mudik, kembali ke habitat masing-masing, lupa kalau punya saudara. Iya kan? Atau bukan lupa, ngerasa kalau mau kontak-kontakan nanti aja dekat-tekat lebaran. Merasa bingung mau ngobrol apa. Ngerasa enggak enak kok tiba-tiba kontak nanti dikira ada maunya. Iya enggak, sih? Kalau aku sih begitu.
Dulu aku begitu (mudah-mudahan sekarang enggak). Saat Lebaran kumpul ber-31, 3 generasi. Eyang, orang tua, anak. Seru, rame, heboh. Kebayang kan, nenek+kakek, 7 anak +  7 menantu + 15 cucu. Berisik... Tiada waktu tanpa antri. Mulai dari makan, antri ambil nasi dan lauk. Mandi, antri masuk kamar mandi. Nonton TV, karena cuma 2, satu untuk anak-anak, satu lagi untuk para orang tua. Seperti biasa tetap aja rebutan kalau mau ganti channel. Ribut lagi...Tapi seru, no heart feeling. We are one big family.
Yang terpikir, biasa lebaran kumpul di rumah orang tua. Kalah sudah sampai umur menjemput para eyang, dimana kita akan kumpul saat Lebaran? Akankah tetap terjalin silaturahmi yang seerat dan seakrab saat mereka masih ada? Sekarang aja sering kita lihat banyak orang ngumpul tapi masing-masing sibuk sendiri dengan ponselnya, BB atau laptopnya sendiri. Kebayang enggak, besok-besok anak-anak kita mungkin enggak akan kumpul-kumpul ngeriung kayak kita sekarang. Nanti di rumah masing-masing dengan gaya teknologi canggih, pakai webcam, skype, or whatever, kumpul jarak jauh. Mana ada kedekatan emosional kalau begitu caranya. Iya kan?!
Jadi, para ibu atau bapak, jangan tinggalkan kebiasaan silaturahmi ini. Jangan hanya para orang tua yang berkumpul. Ajak juga anak-anak kita. Biasakan mereka tahu siapa saudara mereka. Mulai dari keluarga terdekat ayah dan ibu, sampai keluarga dari kakek neneknya. Seperti kalau di keluarga Manado, keluarga satu fam atau keluarga Batak, keluarga satu marga. Masing-masing marga kalau terjadi perkawinan akan mempunyai keluarga satu marga baru lagi. Seru kan, semua jadi saudara. So, enggak perlu tergantung suku, keturunan siapa pun kita, cobalah mulai hubungi saudara-saudara kita. Cobalah mulai dari (pohon) keturunan terdekat, makin lama akan makin bertambah (cabang pohon) saudara kita.
So, start from now. Jangan tunggu hari esok. Mumpung hari libur, mumpung masih ada kesempatan,  jauhi mal, mulailah kita pergi mengunjungi saudara-saudara kita. Jalin silaturahmi, pererat persaudaraan.