Follower

Jumat, 01 Juni 2012

KELAS LAWAS

 “Zulfi, kenapa cemberut? Enggak sempat sarapan?”
“Sudah, Dhiel. Aku lemas, enggak kuat ikut olah raga.”
“Kamu selalu begitu.  Kalau ada olah raga pasti alasan terus,” Luthfi menyela.
“Minggu lalu kamu bilang sakit perut. Sekarang lemas. Nanti enggak dapat nilai, lho,” Fadhiel mengingatkan.
“Kamu kegemukan, sih. Makanya malas olah raga,” sela  Fauzi.
“Minggu depan aku minta susulan. Enggak kuat kalau hari ini ambil nilai.”
“Ah, bagaimana sih? Kita kan sudah rencana mau lomba lari nanti. Nilai lari kita harus bagus. Kalau kamu enggak ikut, mana bisa,” Fauzi ikut kesal.
“Kalian lari saja bertiga. Aku mau ijin pak guru enggak ikut olah raga hari ini,” Zulfi berkeras tidak ikut.
“Terserahlah. Kita semua sudah bilang lho ya. Minggu depan kamu ambil nilai sendiri.”
  Saat pelajaran olah raga, Zulfi menunggu di kelas, yang lain ke lapangan. Bosan di dalam kelas, ia duduk di kursi terdepan. Mencoba melihat temannya olah raga. Ternyata, mereka di lapangan belakang. Tak terlihat.
Saat ia akan berpaling melihat ke arah lain, dari sudut matanya terlihat cahaya.Ia berbalik. Kok ada sinar? Itu kan kelas lawas, kelas yang udah rusak. Enggak dipakai lagi. Palang pintunya aja terlihat dari sini. Rasa ingin tahu mendorongnya mendatangi tempat itu. Belum ia mendekat...
“Zulfi, lagi apa di situ? Kalau sakit, tunggu di kelas sana,” tegur pak guru.
“Iya, Pak Guru,” jawabnya sambil berbalik menuju kelas.
Rasa ingin tahunya memuncak. Penasaran. Jangan-jangan Pak Guru tahu ada sesuatu di dalam sana. Aku harus ajak teman-teman lihat ke sana. Tak sabar ia menunggu jam olah raga usai. Sampai ia lihat temannya datang berlari dari belakang.
“Hahhh... capek! Enaknya di kelas. Duduk-duduk aja,” kata Fauzi, tersengal-sengal.
“Sssttt, ada rahasia nih,” bisik Zulfi, lihat ke kiri kanan, takut ada yang ikut dengar.
Melihat tingkah Zulfi, mereka terheran-heran.
“Ada apa sih, Zul. Ada harta karun?” tanya  Fauzi.
“Kamu ketemu hantu tadi?” canda Fadhiel.
“Aku tahu, kamu tadi buat contekan, kan?” kata Luthfi.
“Aku serius, nih. Tadi aku lihat cahaya di situ.” Zulfi arahkan matanya ke kelas rusak.    
“Apa rahasianya? Paling ada yang lagi cari barang,” sahut Fadhiel.
“Iya...iya...,” Luthfi dan Fauzi menyahut bersamaan.
“Iya, tapi siapa? Pintunya enggak terbuka tadi, masih digembok.”
“Memang kelihatan dari kelas? Enggak kali,” sahut Fauzi.
“Aku tadi ke sana. Belum sempat kubuka, Pak Guru datang nyuruh balik ke kelas,” Zulfi berusaha meyakinkan teman-temannya.
“Terus, kenapa? Pak Guru ke sana mau bukakan pintunya. Iya, kan,” kata Fadhiel.
“Kenapa harus dikunci?” tanya Zulfi.
“Sengaja dikunci biar yang lain enggak masuk, Zul. Repot amat, sih.”
“Enggak mungkin. Kenapa enggak ditutup saja? Ini dikunci, digembok juga. Enggak mungkin enggak ada apa-apa di dalam,” kata Zulfi berkeras. 
“Kalau ada apa-apanya, memang kenapa?” tanya Luthfi.
“Kita harus periksa ke dalam sana. Kita lihat ada apa di sana!” kata Zulfi bersemangat.
“Ya sudah, ayo kita ke sana sekarang.” Fadhiel ingin cepat selesai.
“Enggak mungkin sekarang. Sebentar lagi sudah masuk. Nanti pulang sekolah saja,” kata Zulfi sambil melangkah kembali ke kelas.
Bel masuk bunyi. Mereka duduk gelisah mendengarkan penjelasan pak guru.
Krrriiing...krrriiing... bel pulang berbunyi.
“Selamat siang Pak Guru...,” teriak anak-anak usai baca doa. Semua berlari keluar.
“Dhiel, Lutfi, Oji, tunggu...,” panggil Zulfi.
“Apalagi, sih? Lapar nih!” sahut Fadhiel.
“Kita kan mau ke gudang. Lupa?” jawab Zulfi.
“Aduh, jangan sekarang. Aku kelaparan, nih,” Fauzi menjawab sambil pegang perut.
“Bagaimana, sih? Tadi katanya mau ke gudang.” Zulfi kesal.
“Mau sih mau, tapi enggak sekarang, ah. Aku mau pulang, makan,” kata Fadhiel.
“Iya, aku juga kelaparan,” tambah Fauzi.
Akhirnya, misteri kelas lawas tak terpecahkan karena mereka lupa sampai akhirnya libur sekolah. Saat libur, sekolah direnovasi dan kelas lawas itu dijadikan kantin.

SANG JUARA

 
Keisha sedang  menari di kompetisi tari Bali. Di depannya duduk 3  juri. 
“Keisha, tarianmu bagus. Kamu masuk ke putaran berikut,” kata Juri.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu,” jawab Keisha, tersenyum senang.

Keisha keluar dari ruang penjurian.
“Selamat Keisha, kamu berhasil! Kok kamu enggak senang?” tanya Zaskia.
“Aku berhasil. Tapi...” jawab Keisha ragu. “Aku mau mundur aja.”

 Zaskia dan Keisha berdiri di sudut ruangan. Ada beberapa anak sedang berlatih menari di tengah ruangan,.
“Kenapa mundur, bukannya kamu masuk final?” tanya Zakia. “Kamu sendiri yang mau ikut kompetisi, kan? Ayolah, Keisha. Ada apa sebenarnya,?” tanya Zaskia.
“Aku takut enggak menang,” jawab Keisha. “Lihatlah,  mereka semua narinya bagus. Aku enggak yakin bisa ngalahin mereka.”  
“Enggak usah takut, Keisha,” tanya Zaskia. “Kenapa kamu pikir harus ngalahin mereka?”
“Emmm...,” Keisha tak menjawab.
“Kamu mau menang, kan?” tanya  Zaskia.
“Iya. Aku mau jadi juara.  Aku mau dapat piala.”
“Kalau kamu mundur, enggak mungkin bisa juara.”

Zaskia menunjukkan majalah yang dibawanya.
“Kamu sudah baca cerita ini?” tanya  Zaskia.
“Sudah, sering,” kata Keisha.
“Kamu udah baca berapa lama dia latihan untuk jadi juara?” tanya  Zaskia.
“Aku tahu. Dia sudah latihan dari kecil,” jawab Keisha.
“Nah, kamu tahu kan gimana perjuangannya untuk jadi penari terkenal,” kata  Zaskia.
“Ya,  Zaskia. Latihanku belum sebanding dengan dia,” kata Keisha.

Mereka berdua diam.
“ Zaskia, temani aku latihan, ya?” pinta Keisha.
“Lho, baru selesai lomba, kok mau latihan lagi? Enggak capek?” 
“Aku enggak boleh nyerah. Aku harus terus latihan supaya lebih bagus dari mereka. Aku harus juara,” kata Keisha semangat lagi.
“Nah, gitu dong. Itu baru Keisha yang pantang menyerah. Keisha Sang Juara.”

Minggu, 27 Mei 2012

KAKAKKU SAYANG

         
“Assalamu alaikum...” kuucap salam pada Ibu, sepulang sekolah.
“Wa’alaikum salam. Gimana tadi di sekolah, Nak?”
“Nyebelin, Bu. Tadi Pak Guru ngasih ulangan mendadak. Untung aku bisa. Biar enggak 100 tapi enggak remed.”
“Alhamdulillah. Makanya kalau disuruh belajar,  jangan malas. Kalau ada ulangan dadakan gini kamu kan sudah siap. Biar bisa dapat 100. Katanya mau jadi juara.”
“Iya, Bu.  Kemarin kan aku capek, abis lomba lari. Nanti  selesai makan malam aku belajar lagi, deh. Sekalian buat PR.”
“Buat PR jangan malam-malam. Nanti jam limaan kamu buat PR. Jadi sebelum Maghrib sudah selesai. Setelah shalat maghrib, makan, terus belajar lagi buat persiapan besok.”
“Kapan aku nonton TV-nya, Bu? Ada film bagus jam tujuh nanti.” Aku protes.
“Nonton TV ya selesainya belajar. Makanya sore buat PR jadi setelah maghrib kamu tinggal sebentar belajarnya.”
“Kok, kak Dila enggak disuruh belajar? Aku enggak belajar, dimarahin.”
“Dika, kamu masih kelas 3 SD. Pelajaranmu belum sebanyak kakak. Kak Dila juga belajar, tapi malam setelah Isya. Kakak sudah SMA, pulang sekolahnya sore. Jadi ngulang pelajarannya malam. Kakakmu bisa belajar sampai jam sepuluh – sebelas malam. Kamu mau gitu? Nanti kamu malah tidur di sekolah.”   
“Kok bisa belajar malam-malam? Memang Kak Dila enggak ngantuk?”
“Ya pasti ngantuk, tapi ditahan. Kalau diikutin ngantuknya, enggak kan belajar. Makanya sepulang sekolah kak Dila istirahat atau tidur dulu sebentar. Iya, kan? Kamu aja yang kalau disuruh tidur marah-marah. Tidur siang penting, supaya badan enggak capek.” Ibu menggandengku. “Ayo, kita makan. Habis itu, shalat terus tidur.”
“Aku mau nonton TV, Bu. Sebentar aja. Jam tiga juga udah selesai.”
“Ya, sudah. Cepat habiskan makanmu, terus shalat. Nontonnya enggak usah lama-lama.”
“Iya, Bu.” Ku cepat makan. Kuatir kalau lama, Ibu enggak ijinkan nonton TV.
Selesai makan, shalat, kulangsung nonton TV. Lagi seru-serunya nonton, tiba-tiba  tulalit...tulalit.... jamku bunyi. Aku tadi pasang alarm tiga. Ibu suka masuk ke kamar melihat ku sudah tidur atau belum. Dan ibu pasti marah kalau aku tidak tidur siang. Terpaksa kumatikan TV dan masuk ke kamar.
Aku disuruh tidur siang, kakak aja masih di sekolah. Ibu enggak adil, lebih sayang kakak. Kakak dibelliin hape, aku enggak. Kakak boleh pergi dengan teman-temannya, aku harus sama ibu. Kakak dikasih uang jajan, aku harus bawa bekal. Akhirnya ku tertidur. Memang sebenarnya aku capek tapi acara TV sayang untuk dibiarkan, aku lebih milih nonton timbang tidur.
“Dika, bangun, sudah sore.” Ibu membangunkanku.
“Iya, Bu,” jawabku sambil mengedip-ngedipkan mata.
“Tidur siang sebentar aja cukup. Kalau kelamaan nanti malam kamu susah tidurnya. Sana mandi, shalat terus buat PR.”
“Iya, Bu.” Panjang amat perintahnya, aku kan baru bangun.
“Dika, kok diam aja? Ayo, sana mandi.”
“Iya, Bu.”
Aaah, segarnya habis mandi.
“Ibu...,” panggilku. Kok enggak ada jawaban. “Ibu...” teriakku. Enggak ada juga.
“Dik, sudah selesai buat PR? Ibu pergi sebentar, ke rumah teman ibu yang sakit,” kata Dila.
“Kak Dila, baru pulang? Kok aku enggak dengar masuknya.”
“Iya. Tadi kakak pulang, Ibu langsung pergi. Biar enggak kemalaman pulangnya. PRmu sudah selesai?”
“Belum, ini aku mau tanya. Ada yang enggak ngerti.”
“Ya, udah. Sini kakak bantu.”
Kami berdua ke meja belajarku. Kak Dila mengajari PR yang susah. Ternyata, kak Dila pintar, aku jadi ngerti cara ngerjain soalnya. 
“Terima kasih ya, Kak. Kakak pintar. Kalau gini kan aku bisa dapat 100 terus.”
“Hehe.... muji-muji gini, ujungnya apa, nih?”
“Kakak, aku ngomong benar, malah curiga. Enggak, enggak minta apa-apa, kok.”
“Ya, udah. Kita nonton TV aja sambil tunggu Ibu pulang. Kakak punya gorengan, kamu mau enggak? Tadi kakak kelaparan di jalan.”
“Mau dong, Kak. Ada risolnya, kan?”
“Ada, kakak beli risol semua biar enggak rebutan.”
Kami nonton sambil makan risol. Tengah nonton, kulihat mata kakak terpejam. Kakak terpaksa tidur di ruang TV karena harus menemaniku selama ibu pergi. Kakakku baik. Dia mau menemani dan membelikan aku jajan. Kakak juga mau mengajariku. Aku enggak boleh iri. Dia baik dan aku juga harus baik padanya. Kami saudara, harus saling menyayangi.  Kak, aku sayang kakak.

Minggu, 20 Mei 2012

Silaturahim


Hari ini judulnya Hari Silaturahmi, mengunjungi Saudara. Atau ada juga yang menyebutnya dengan silaturahim. Sebenarnya apa sih arti atau makna atau manfaat dari silaturahmi ? Kita sekarang, biasanya bersilaturahmi hanya sebatas pada hari Lebaran ataupun bila ada keperluan tertentu. Atau kasarnya, kita akan berhubungan atau menghubungi seseorang hanya bila kita butuh.  Setuju enggak dengan pernyataan itu? Saya yakin lebih banyak yang setuju dibandingkan yang kontra.  Tentu saja dengan banyak alasan berbeda.  Lokasi atau letak rumah yang berjauhan. Perasaan harusnya dikunjungi bukan yang mengunjungi. Hujan. Sibuk, banyak kerjaan. Tidak sempat. Tidak ada waktu. Dan seribu satu macam alasan yang sebenarnya tidak perlu ada kalau memang kita sudah niat untuk menjalin silaturahmi.
Balik lagi, apa sebenarnya silaturhami? Sebagai orang yang bukan ahli agama, saya mengartikan silaturahmi sebagai membina hubungan dengan sesama, hablum minannas. Seperti kalau kita sedang jalan kaki dan melihat tetangga sedang berada di depan rumah, kita sempatkan bina silaturahmi dengan mengajaknya mengobrol sejenak. Sebentar saja, karena kalau lama-lama bisa-bisa mengganggu dan menyebabkannya jengkel. Ya, tho, so, sebentar saja. Mungkin bisa dibilang basi-basi, tapi please jangan garing. Kita bisa ngerasa sendiri kalau obrolan kita garing atau enggak. Jadi kalau garing, lebih baik berikan sedikit senyum dan anggukan kepala sebagai sapaan bersahabat. Kalau tetangga lawan jenis, lebih baik batasi sebatas anggukan kepala daripada muncul fitnah kita menggoda. Setuju?
Nah, kalau silaturahmi keluarga, ini harus lebih sering. Tidak sebatas hanya pada waktu mudik lebaran saja. Kalau lebaran kita bisa berkumpul semua sampai dengan tiga turunan, nenek/kakek, ayah/ibu, anak, cucu, bahkan cicit.  Selesai mudik, kembali ke habitat masing-masing, lupa kalau punya saudara. Iya kan? Atau bukan lupa, ngerasa kalau mau kontak-kontakan nanti aja dekat-tekat lebaran. Merasa bingung mau ngobrol apa. Ngerasa enggak enak kok tiba-tiba kontak nanti dikira ada maunya. Iya enggak, sih? Kalau aku sih begitu.
Dulu aku begitu (mudah-mudahan sekarang enggak). Saat Lebaran kumpul ber-31, 3 generasi. Eyang, orang tua, anak. Seru, rame, heboh. Kebayang kan, nenek+kakek, 7 anak +  7 menantu + 15 cucu. Berisik... Tiada waktu tanpa antri. Mulai dari makan, antri ambil nasi dan lauk. Mandi, antri masuk kamar mandi. Nonton TV, karena cuma 2, satu untuk anak-anak, satu lagi untuk para orang tua. Seperti biasa tetap aja rebutan kalau mau ganti channel. Ribut lagi...Tapi seru, no heart feeling. We are one big family.
Yang terpikir, biasa lebaran kumpul di rumah orang tua. Kalah sudah sampai umur menjemput para eyang, dimana kita akan kumpul saat Lebaran? Akankah tetap terjalin silaturahmi yang seerat dan seakrab saat mereka masih ada? Sekarang aja sering kita lihat banyak orang ngumpul tapi masing-masing sibuk sendiri dengan ponselnya, BB atau laptopnya sendiri. Kebayang enggak, besok-besok anak-anak kita mungkin enggak akan kumpul-kumpul ngeriung kayak kita sekarang. Nanti di rumah masing-masing dengan gaya teknologi canggih, pakai webcam, skype, or whatever, kumpul jarak jauh. Mana ada kedekatan emosional kalau begitu caranya. Iya kan?!
Jadi, para ibu atau bapak, jangan tinggalkan kebiasaan silaturahmi ini. Jangan hanya para orang tua yang berkumpul. Ajak juga anak-anak kita. Biasakan mereka tahu siapa saudara mereka. Mulai dari keluarga terdekat ayah dan ibu, sampai keluarga dari kakek neneknya. Seperti kalau di keluarga Manado, keluarga satu fam atau keluarga Batak, keluarga satu marga. Masing-masing marga kalau terjadi perkawinan akan mempunyai keluarga satu marga baru lagi. Seru kan, semua jadi saudara. So, enggak perlu tergantung suku, keturunan siapa pun kita, cobalah mulai hubungi saudara-saudara kita. Cobalah mulai dari (pohon) keturunan terdekat, makin lama akan makin bertambah (cabang pohon) saudara kita.
So, start from now. Jangan tunggu hari esok. Mumpung hari libur, mumpung masih ada kesempatan,  jauhi mal, mulailah kita pergi mengunjungi saudara-saudara kita. Jalin silaturahmi, pererat persaudaraan.      

Rabu, 18 April 2012

The First Time - UN

There is always the first time for everything ... 

Finally, inilah  posting pertama di blog. Walau bingung mau nulis apa ... Tergoda juga untuk mulai nulis. I will try to write everything that come into my mind, that bother me .. amaze me and whatever it is...
Sekarang orang tua lagi heboh dengan anaknya yang sedang dan akan UN. Kenapa sih heboh?  Semua kan dulu pernah sekolah.  Di sekolah favorit ataupun sekolah nyaris tak terdengar, tetap saja sekolah dan ngejalanin yang namanya ujian. So, take it easy mom.
Why it should be mom? Ya, Ayah biasanya mendelegasikan tugas khawatir ini kepada istrinya. Tugas yang jadi prioritas dan bukti keberhasilan Bunda. Sepertinya enggak fair. Apa iya, tugas membesarkan anak, mulai bayi sampai bisa alan dan berlari, tidak masuk hitungan? Apa hanya keberhasilan lulus ujian yang dianggap keberhasilan? Enggak masuk akal! But, this is life. Welcome to the real world.
Pengalamanku dulu. Oh ya, anakku 2 orang. Yang pertama, perempuan,  kelas 1 SMA. Yang bungsu, laki-laki, kelas 3 SD. Banyak yang heran jaraknya jauh. Niat awal sengaja dijarangkan.  Biar bisa kasih perhatian lebih. Sampai enggak terasa kakak sudah masuk TK. Kasihan sendirian. Lagian umur juga jalan terus. Berusahalah sampai Allah berikan berkah anak ke-2. Alhamdulillah laki-laki. Lengkaplah kebahagiaan ini. Sepasang sudah cukup. Eits, bisa jadi iklan KB : Keluarga bahagia, lebih baik dua anak (Sekarang slogannya bukan dua anak cukup lho. Sudah pada tahu belum?) Tuh kan, prolognya kepanjangan. Kembali ke pengalaman.
Cerita ku mulai dari awal. Pengalaman anakku ujian SD dan SMP, memang menegangkan. Aku dan suamiku bukan orang yang percaya dengan bimbingan belajar dan teman-temannya. Alhamdulillah, anak-anakku, bisa dibilang, termasuk mudah menerima pelajaran. Dari TK sampai SMP selalu masuk ranking 10 Besar. Dengan kemampuan yang dimilikinya, kami sengaja tidak mengarahkannya ikut bimbel. Kami tekankan ia harus mau dan berani tanya guru bila ada pelajaran yang tidak dimengerti.
Memang tidak mudah. Anakku pun sering mengeluhkan gurunya. Berbagai tipe guru, cara mengajar beda, guru tidak kooperatif, tidak mendukung dan tidak semuanya. Mau tak mau semua harus dijelaskan agar ia tidak menyerah. Karena your life is in your hand. Jangan pernah menyalahkan guru kalau enggak ngerti pelajarannya. Kalau kamu enggak suka gurunya, enggak ada pengaruhnya buat sang guru. Akibatnya untuk dirimu sendiri. Kamu akan semakin tidak bergairah, malas menghadapi sang guru. Parahnya lagi, kamu yang akan dapat nilai kurang karena mengerjakan tugas asal saja. Ya, selama keberhasilan sekolah dilihat dari perolehan nilai, jebakan ini akan terus menghantui. Kenapa kubilang jebakan? Karena mau enggak mau kita terpaku hanya pada nilai yang diperoleh. Bukan seberapa dalam anak memahami apa yang diajarkan di sekolah.
Jadi, dengarkan curhat anak tentang gurunya. Kalau bisa membantu, ceritakan juga bagaimana cara kita dulu menghadapi guru yang seperti itu. Kalau anak kita sudah besar, jangan mengarang! Mereka akan bisa ‘merasa’ kalau kita mengarang. Ber’empati’ lebih baik, daripada mengarang cerita yang nantinya dapat menjebak kita sendiri. Membuat anak tak percaya dengan kita. Kenal dengan ‘empati’ kan? Ya, merasakan apa yang dirasakan orang dengan cara melihat dari kaca mata yang bersangkutan. Sebenarnya enggak susah, asal kita mau mendengar. DENGARKAN. Mau bersabar mendengar kisah yang kadang menurut kita enggak penting. Mudah diucapkan tapi perlu waktu untuk membiasakan diri.
Setelah selesai curhatnya, biarkan ia cooling down. Cobalah masuk dengan nada obyektif. Jangan menyalahkan! Nada menyalahkan membuatnya malas bercerita lagi. Buatlah ia tahu kita mengerti dan memahami perasaannya. Kita pernah muda. Mungkin kita pernah alami hal yang sama.
Kalau boleh disimpulkan, anak perlu pendampingan orang tua. Akan semakin mudah bila sudah kita biasakan dari kecil. Kalau dulu belum dilakukan, tak ada kata terlambat untuk memulainya sekarang. Tanamkan ikhtiar dan usahanya kini akan berguna tidak hanya sekarang tapi sampai ia dewasa kelak. Dan yang pasti, kita sebagai orang tua, jangan pernah menyerah. Beri dukungan pada anak sesuai kebutuhan. Jangan jadikan anak seperti yang kita inginkan. Biarkan anak menjadi pribadi yang mandiri. Biarkan ia belajar mengatasi masalahnya sendiri. Dampingi anak agar kita tahu permasalahan anak sebelum ia tenggelam.  
Sudah panjang ceritanya. Saya akan lanjutkan lagi dengan posting menarik lainnya.